MAKALAH
HAMBATAN
PELAKSANAAN
KONSELING
LINTAS BUDAYA
Makalah ini disusun guna memenuhi
tugas mata kuliah Konseling Lintas Budaya
Dosen Pengampu: Siti Saroh, M.Pd
Di susun Oleh Kel. 3, VI B, BK :
1. Erna
Mustika Sari (2010-31-070)
2. Siti
Nor Hayati (2010-31-072)
3. Nita
Nor Cahayani (2010-31-073)
4. Titik
Sugiarti (2010-31-074)
5. Arlita
Septiana Sari (2010-31-075)
6. Muhammad
Gufron (2010-31-076)
7. Yuni
Etika Sari (2010-31-077)
8. Siti
Uswatun K (2010-31-078)
9. Fitrotul
Munawaroh (2010-31-079)
10. Fitria Widiana (2010-31-080)
11. Bram Titon A (2010-31-082)
PROGRAM
STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNVERSITAS MURIA KUDUS
2013
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan nikmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan “ Makalah Hambatan Pelaksanaan Konseling Lintas Budaya”
Dalam
penyusunan makalah ini tentu saja kami tidak akan selesai tanpa bantuan dari
beberapa pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih kepada Ibu Siti Saroh, M.Pd
selaku dosen pembimbing mata kuliah Konseling Lintas Budaya, teman-teman
mahasiswa satu kelompok serta semua pihak yang telah membantu terselesainya
makalah ini.
Kami
meminta maaf atas semua kesalahan kepada semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan makalah ini. Kami juga
sangat mengharap kritik dan saran dari para pembaca yang bersifat membangun
guna melengkapi makalah kami.
Harapan
kami agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang. Tak ada suatu yang
dapat penulis berikan sebagai balas budi, selain doa semoga Allah SWT
memberikan balasan setimpal atas segala amal baik yang telah diberikan kepada
kami.
Kudus,
26 Maret 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................................
Daftar
Isi........................................................................................................................
Bab
I : Pendahuluan.....................................................................................................
A.
Latar
Belakang....................................................................................................
B.
Rumusan
Masalah...............................................................................................
C.
Tujuan.................................................................................................................
Bab
II : Pembahasan....................................................................................................
A.
Dimensi Dalam Pelaksanaan Konseling
Lintas Budaya.....................................
B. Faktor-Faktor
Yang Menghambat Konseling Lintas-Budaya............................
1. Bahasa..........................................................................................................
2. Nilai.............................................................................................................
3. Stereotip.......................................................................................................
4. Kelas
Sosial..................................................................................................
5. Ras
atau Suku..............................................................................................
6. Jenis
Kelamin (Gender)...............................................................................
7. Usia..............................................................................................................
8. Preferensi
Seksual........................................................................................
9. Gaya
Hidup.................................................................................................
10. Keadaan
Orang-Orang Cacat......................................................................
Bab III : Penutup..........................................................................................................
A.
Simpulan.............................................................................................................
B.
Saran...................................................................................................................
Daftar Pustaka..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bhineka tuggal Ika itu yang terucap dari seluruh Rakyat Indonesia
karena keragaman Sosial, Budaya, Politik, dan kemamapuan Ekonomi adalah suatu
realita masarakat dan bangsa
indonesia. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan pelayanan
konseling.
Konseling adalah suatu proses
pemberian bantuan yang terjadi dalam hubungan antara konselor dan klien. Dengan
tujuan mengatasi masalah klien dengan cara membelajarkan dan memberdayakan
klien. Untuk memperoleh pemahaman dan pencapain tujuan dalam konseling, faktor
utama yang mempengaruhi yaitu bahasa merupakan alat yang sangat penting. Bila
terjadi kesulitan dalam mengkomunikasikan apa yang diinginkan dan dirasakan
oleh klien, dan kesulitan menangkap makna ungkapan pikiran dan perasaan klien
oleh konselor, maka akan terjadi hambatan dalam proses konseling.
Penerapan konseling lintas budaya
mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman budaya dan
adanya perbedaan budaya antar kelompok klien yang satu dengan kelompok klien
lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. Konselor harus sadar akan
implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. Budaya yang dianut
sangat mungkin menimbulkan masalah dalam interaksi manusia dalam kehidupan
sehari-hari. Masalah bisa muncul akibat interaksi individu dengan
lingkungannya. Sangat mungkin masalah terjadi dalam kaitannya dengan
unsur-unsur kebudayaan, yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada
di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar
individu.
Proses konseling memperhatikan,
menghargai, dan menghormati unsur-unsur kebudayaan tersebut. Pengentasan
masalah individu sangat mungkin dikaitkan dengan budaya yang mempengaruhi
individu. Pelayanan konseling menyadarkan klien yang terlibat dengan budaya
tertentu; menyadarkan bahwa permasalahan yang timbul, dialami bersangkut paut
dengan unsur budaya tertentu, dan pada akhirnya pengentasan masalah individu
tersebut perlu dikaitkan dengan unsur budaya yang bersangkutan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada pelaksanaannya
akan timbul beberapa faktor yang menjadi kendala atau hambatan yang akan
dialami oleh konselor dalam pelaksanaan proses konseling lintas budaya. Untuk
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor apa saja yang
menjadi hambatan atau kendala dalam pelaksanaan proses konseling lintas budaya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
dimensi dalam pelaksanaan konseling lintas budaya itu?
2.
Apa
saja faktor-faktor yang menghambat konseling lintas budaya?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami dimensi dalam pelaksanaan konseling lintas budaya.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menghambat konseling lintas budaya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
DIMENSI
DALAM PELAKSANAAN KONSELING LINTAS BUDAYA
Seperti
halnya guru mengajar yang menjumpai kesulitan dalam menjalankan tugasnya,
misalnya materi belajar yang tidak cukup, siswa yang terlambat pemahamannya,
beda kebiasaan-kebiasaannya dan sebagainya. Demikian halnya tugas konselor, ia
akan mendapati hambatan-hambatan dalam melaksanakan layanan-layanannya,
termasuk dalam mengonseling.
Konseling
“biasa” dijalankan dengan menerapkan pengertian-pengertian dan asas-asas sesuai
dengan teori atau aliran yang dianut konselor, hamper-hampir tidak
memperhatikan factor-faktor diluar dari apa yang dipandang sudah baku sebagai
prosedur atau ancangan itu. Demikianlah kita dapat mengenali “langkah-langkah”
pendekatan konseling trait and factor, pusat-pribadi, behavioral, RET dcan
sebagainya, yang semuanya bertolak dari pandangan tentang hakekat klien selaku
manusia, tetapi manusia pada umumnya. Aliran-aliran terse but tidak
mempersoalkan suku bangsa dan nilai-nilai budaya yang dianut untuk
dipertimbangkan dalam pelaksanaan konseling. Contohnya konseling behavioral
menekankan pentingnya lingkungan belajar, dan ganjaran dalam pembentukan dan
pengubahan tingkah laku.
Konseling
lintas-budaya memang merupakan hal baru. Sejalan dengan itu, pengalaman-
pengalaman dalam pelaksanaan konseling terhadap orang-orang dengan latar budaya
yang berlain-lainan menunjukkan bahwa pendekatan yang berlaku dalam budaya
Barat belum tentu cocok untuk budaya timur. Contoh, sebagian besar teknik
konseling diarahkan agar klien lebih membuka diri (self-disclosure), tetapi anak-anak kita belajar sejak kecil dalam
keluarga untuk tidak mengatakan hal-hal yang oleh masyarakat umum dianggap
tidak pantas, tabu, dan bahwa “diam itu emas”, “diam itu selamat”.
Menurut Browm et
al. (1988), keberhasilan layanan konseling sangat dipengaruhi oleh
factor-faktor seperti bahasa, nilai, stereotip, kelas social, suku dan bangsa,
jenis kelamin. Sue (dalam Brown et al, 1988) menyebutkan adanya factor-faktor
budaya yang harus diperhatikan konselor kalau mengonseling klien yang berbeda
latar belakang budayanya. Dasar pandangannya adalah karena memang factor-faktor
ituberpengaruh pada keberhasilan layanan yang akan diberikan. Menurut Sue,
hal-hal yang berpengaruh itu adalah bahasa, pandangan terhadap hakekat manusia,
tujuan hubungan manusia, orientasi waktu, hubungan dengan alam, dan orientasi
tindakan. Jika kita membahas tentang budaya maka kita akan berbicara tentang
nilai.
Dalam kaitan
dengan konseling lintas-budaya, factor ini juga berpengaruh dalam keberhasilan
konseling. Dengan kata lain, tidak cukup hanya membahas dengan dimensi tujuan
konseling dan dimensi proses konseling, tetapi perlu juga dimensi kepatutan,
kepantasan. Sue (dalam Brown et al, 1988) mengisyaratkan adanya empat scenario
yang berkembang dari bahasan tentang konseling lintas-budaya.
Dari keempatnya
hanya satu yang positif. Dalam scenario positif itu, proses yang dilakukan
konselor adalah (proses) yang cocok dengan latar belakang budaya klien, dan
tujuan yang mau dicapai adalah juga cocok dengan situasi budaya dan kenyataan
sosiopolitik keberadaan klien. Scenario lainnya dari konseling lintas-budaya
yang dilukiskan Sue adalah (1) prosesnya tepat, (tetapi) tujuannya tidak tepat,
(2) prosesnya tidak tepat, (tetapi) tujuannya tepat, dan (3) baik proses maupun
tujuannya tidak tepat.
Sue
menggambarkan dalam situasi pertama yang negative, seorang konselor
lintas-budaya lebih aktif dalam proses konseling dengan klien penduduk asli
Amerika, dan membantunya mencapai tujuan konseling yang cocok dengan
pandangannya tentang hubungan manusia dengan alam dan waktu. Seorang konselor perguruan tinggi melaporkan
usahanya untuk membantu klien penduduk asli Amerika bagaimana mempertemukan dua
tujuan, yaitu mencapai keberhasilan bidang akademis yang menghendaki ketepatan
waktu dan kehadiran mengikuti kuliah, dan musim tahunan ikan salem ramai-ramai
berenang ke hulu yang juga minta perhatian, dan karena itu terpaksa
mengharuskannya absen kuliah.
Gabungan proses
tepat dan tujuan tidak tepat dicontohkan dengan proses konseling dilakukan olrh
konselor kulit putih dari kelas social menengah dengan klien kulit putih murid
kelas empat yang miskin, di mana konselor mendidik klien agar berhenti
berkelahi. Dalam situasi ini, kebolehan berkelahi diperlukan jika anak ke
sekolah membawa bekal makan siangnya. Tujuan yang tepat menurut konselor adalah
membantu anak tersebut agar bias membedakan antara perilaku yang patut dan
perkelahian yang tidak patut. Namun demikian, konselor kulit putih dari kleas
menengah mungkin masih menggunakan proses tidak tepat dengan berusaha
membenarkan bahwa bagi orang-orang beradap agar jangan berkelahi untuk
memecahkan masalah.
Sue percaya
bahwa mungkin saja terjadi konseling berakhir sebelum waktunya, bila prosesnya
tidak tepat, walaupun tujuan konselingnya tepat. Apabila konseling yang
dilakukan konselor termasuk scenario
negative, yaitu antara proses dan tujuan konseling ada yang tidak cocok
dengan nilai budaya klien, atau keduanya sama-sama tidak sesuai dengan latar
budaya klien, maka mungkin saja konseling akan berakhir premature.
B.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MENGHAMBAT KONSELING LINTAS-BUDAYA
Disebutkan pada
bahasan sebelumnya bahwa terhadap factor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
konseling lintas-budaya. Dengan demikian bekerjanya factor tersebut bias juga
menjadi penghambat konseling lintas-budaya. Berikut dijelaskan secara rinci
faktor-faktor tersebut.
1.
Bahasa
Ungkapan
“piye khabare (bagaimana kabarnya)”
itu sapaan orang Yogyakarta kalau bertemu temannya. “yok opo rek (bagaimana teman)” itu percakapan khas Malang atau
Surabaya. “tolong belikan aku ote-ote”, kata
“ote-ote” bias berate ‘makanan’ atau
maksudnya ‘orang yang tidak memakai baju’. Di daerah tertentu menggunakan
kepala itu artinya “ya” dan menggelengkan kepala artinya”tidak”. Sementara ada
daerah lain yang berarti sebaliknya, menganggukkan kepala maksudnya “tidak” dan
menggelengkan kepala artinya “ya”.
Beberapa
contoh tersebut menggambarkan beda bahasa, baik verbal maupun non-verbal.
Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam
konseling lintas-budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang
paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling. Di Amerika
misalnya, diketahui sebagai bangsa yang berbahasa Inggris, akan tetapi
berjuta-juta warga negaranya menggunakan bahasa lain. Di antara mereka memang
bias berbahasa Inggris, banyak di antara mereka yang menggunakan bentuk yang
tidak baku dengan konotasi kata dan ungkapan-ungkapan bahasa silang yang sangat
berbeda dengan bentuk bakunya. Hambatan bahasa harus dipecahkan jika ingin
konseling berhasil.
Menurut
Arredondo (dalam Brown et al, 1988) pada waktu ini hanya sedikit praktisi
konseling bilingual (menguasai dua bahasa). Keadaan seperti itu juga terjadi di
Indonesia, apalagi masyarakat kita multi etnis. Hambatan ini bisa dijumpai jika konselor menghadapi klien
yang kemungkinan menguasai bahasa lain, tingkat penguasaannya kurang, miskin
dalam kosa kata, miskin dalam ungkapan-ungkapan, atau menggunakan dialek yang
berbeda. Seringkali antara konselor dan klien menguasai bahasa daerahnya
(bahasa ibu), disamping bahasa Indonesia. Adapun lebih jelasnya seperti berikut;
a.
Tingkat penguasaan bahasa sangat kurang
Ada beberapa orang yang memiliki kesulitan dalam menyusun
kosa kata dan tata bahasa umum yang dipakai banyak orang, sehingga terkadang
orang lain kurang mengerti akan apa yang diucapkannya dan menimbulkan persepsi
yang berbeda. Contoh: konseli yang menyusun kata-kata kurang tepat, misalnya
“makan dia sudah”, maka akan menimbulkan kebingungan bagi konselor untuk
mengartikan ucapan konseli tersebut.
b.
Miskin dalam kosa kata
Seseorang
yang memiliki kekurangan dalam perbendaharaan kata.
Contoh: Seorang konseli yang tidak bisa merangkai kosa kata
dalam mengungkapkan apa yang akan dia katakana akan membuat konselor atau pun
orang lain bingung dalam menerima atau pun mengartikan kata-katanya tersebut.
c.
Miskin dalam ungkapan- ungkapan
Contoh: Lia tidak nyambung ketika teman- temannya berbicara
tentang istilah “ Ayam Kampus”. Kemudian Lia menanyakan pada temannya tentang
istilah tersebut , temannya kemudian tertawa terbahak- bahak dan menganggap Lia
sebagai orang bego.
d.
Penggunaan dialek yang berbeda- beda.
Contoh: orang malang yang menggunakan kata dibalik- balik
misalnya: berapa(orip) dan mengginakan dialeg tegas(terkesan kasar).Orang
Yogyakarta menggunakan karma alus dalam kebanyakan pembicaraannya.
e.
Merasa menjadi etnis yang mayoritas sehingga
menganggap orang lain selalu mengerti apa yang ia maksudkan.
Contoh: konselor yang berbicara dengan bahasa jawa padahal
konselinya berasal dari Madura, Konselor menganggap Konseli mengerti semua apa
yang oleh konselor. Namun pada kenyataannya konseli tidak semua mengerti apa
yang diucapkan konselor.
f.
Perbedaan kelas social
Pada kelas Sosial yang tinggi cenderungan orang berbicara
dengan bahasa yang kelasnya tinggi(eksklusif) dan sulit dimengerti oleh orang
dengan status social rendah. Contoh: mahasiswa yang KKN menjelaskan pada warga
desa terpencil dengan menerangkan tentang penyebaran penyakit dengan
menggunakan istilah- istilah tinggi misalnya: inkubasi, injeksi. Tanpa
menjelaskan arti yang lebih mudah. Tentunya warga desa tersebut tidak mengerti
apa ia katakana. Seharusnya kata tersebut dijelaskan inkubasi= penularan
penyakit dalam tubuh dan injeksi= menyuntik.
g.
Usia
Contoh:
Guru yang menganggap murid kurang ajar karena membahas masalah onani/
masturbasi. Pada golongan muda membahas soal sex bukan soal yang tabu lagi
namun bagi sebagian guru yang usianya berbeda jauh dengan siswa menganggap hal
itu adalah kurang ajar.
h.
Latar pendidikan keluarga
Contoh:
Konseli yang memilki orang tua berlatar pendidikan tinggi akan dianggap berasal
dari keluarga kelas atas.
i.
Penggunaan bahasa gaul.
Contoh:
Konseli yang menggunakan bahasa gaul missal ; pembokat,Lekong dll. Jika
Konselor tidak faham tentang hal itu maka akan menjadi tidak bersambungan dalam
komunikasi.
Apalagi
jika konselor merasa etnis mayoritas, ada kecenderungan menganggap orang lain
pasti tahu apa yang dimaksudkan, ia lupa bahwa di antara siswanya tidak tahu
apa yang dibicarakan. Selain itu, kenyataan adanya beda kelas social, usia,
latar pendidikan keluarga dan sebagainya juga mempengaruhi beda bahasa.
Pemggunaan bahasa prokem, bahasa gaul di kalangan remaja atau sekelompok
tertentu juga dapat merupakan hambatan.
2.
Nilai
Nilai
(value) merupakan kecenderungan/disposisi
mengenai preferensi (kelebih-sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu,
yaitu hal yang dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak. Ini berkenaan
dengan baik/buruk, pantas/tidak pantas, patut/tidak patut. Nilai merupakan konstruk
yang disimpulkan (sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan
pribadi-pribadi secara perorangan). Istlah nilai menunjuk suatu konsep yang
dikukuhi individu atau anggota suatu kelompok secara kolektif mengenai sesuatu
yang diharapkan dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan
dari beberapa alternative (Kluckhohn dalam Berry, 1999).
Nilai menjadi faktor penghambat dalam Konseling Lintas Budaya
bilamana:
a. Memaksakan
Nilai diri terhadap orang lain
Contoh:
Konselor yang memaksakan konseli untuk melaksanakan nilai sub- budaya konselor.
Konselor merupakan orang yang rapi dan wangi, konselor tidak melayani konseli
yang tidak rapi dan tidak wangi sebelum mereka rapi dan wangi.
b. Memaksakan
Nilai golongan mayoritas terhadap nilai golongan minoritas.
Contoh:
Konselor yang menganggap konseli tidak sopan karena tidak membungkuk ketika
lewat di depan orang yang lebih tua. Konselor tersebut tidak mau membantu
konseli sebelum ia mau mengubah kebiasaan mereka untuk membungkukkan badan
ketika lewat didepan orang yang lebih tua. Tohang berasal dari Timor Leste yang
mempunyai kebiasaan menepuk bahu orang yang dijumpainya sekalipun ia lebih tua
darinya.
Nilai ikatan budaya merupakan rintangan penting
dalam konseling lintas-budaya. Belkin (dalam Brown et al, 1988) menyoroti
beberapa contoh tentang konselor yang secara tidak sadar memaksakan nilai-nilai
mereka pada klien golongan minoritas. Misalnya, salah satu tingkah laku yang
sangat dihargai dalam proses konseling adalah pengungkapan diri (self-disclosure). Konselor percaya bahwa
klien lebih banyak memperoleh manfaat dari konseling jika mau berbagi pikiran
dan perasaan yang tersembunyi, tetapi mungkin saja klien tidak bisa menerima
nilai itu. Ini karena ia dididik dan terbiasa tidak menceritakan diri dan
keluarganya kepada orang lain. Sue (1981) membandingkan terapis bangsa Amerika
umumnya dengan orang-orang Amerika keturunan China. Kebanyakan terapis Amerika
menghargai sikap terbuka, kompetitif, terus terang. Dan mandiri, sedangkan
orang Amerika keturunan China melalui kondisioning budaya belajar menghormati
solidaritas, ketaatan pada peran, yang dipegang, konformitas, dan setia dalam
system perkerabatan.
Di
Indonesia tidak sedikit terdapat perbedaan nilai yang ada pada konselor dan
nilai-nilai yang dianut klien. Klien menganut nilai dari kehidupan keluarga
itupun masih sering terdapat kesenjangan dengan orang tuanya apalagi dengan konselor yang merupakan
orang asing bagi klien. Kesenjangan nilai bisa juga terjadi karena antara
konselor dan klien berasal dari latar kehidupan social yang berbeda, tingkat
social ekonomi, usia, agama, suku, jenis kelamin dan sebagainya.
3.
Stereotip
Stereotip
adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai
penilaian/kritikan (Brown et al, 1988). Stereotip merupakan generalisasi
mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang member definisi dulu
baru mengamati. Dapat juga dikatakan kecenderungan orang untuk member ciri yang
sifatnya umum tentang kelompok orang dalam bentuk pernyataan verbal. Stereotip
juga disebutkan sebagai suatu konsepsi yang diterima begitu saja tanpa
dipikirkan secara kritis/dianalisis, dan diterima begitu saja. Biasanya
dibarengi dengan reaksi emosional.
Stereotip
merupakan kendala konseling (termasuk hambatan sikap) karena terbentuk secara
lama berakar sehingga sulit diubah, dan menjadi pola tingkah laku yang
berulang-ulang. Hal ini dapat dipahami karena Stereotip itu sebagai hasil
belajar, sehingga makin lama belajar makin sulit diubah. Lebih-lebih menjadi
kendala jika konselor dihinggapi Stereotip. Apabila konselor menggunakan
Stereotip, maka mereka tidak bisa bersikap luwes waktu merespon klien dengan
segala kebutuhannya.
Keadaan
ini bisa menjadi parah jika klien juga mempunyai Stereotip terhadap
konselornya. Ungkapan-ungkapan Stereotip misalnya “Orang Solo halus; Madura itu
keras; Cina itu pelit; laki-laki itu
hanya pakai rasio; perempuan itu main perasaan; anak remaja sukanya
hura-hura;orang tua itu kolot; orang pakai tato itu jahat; anak laki-laki yang
rambutnya panjang pasti nakal”.
Stereotip
itu bisa berupa kelompok dan bisa perorangan. Ungkapan Stereotip ini dapat
terjadi karena individu itu beda jenis kelamin, agama, kelompok usia, suku
bangsa, kelas social, dan sebagainya. Perbedaan konselor dank lien dapat member
peluang keduanya untuk terjebak Stereotip. Misalnya, Bu Rita sedang
mengonseling Aci siswi kelas 1 SMU, anak orang kaya, Bu Rita beranggapan Aci
pasti anak yang suka maunya sendiri, manja, tidak mau bersusah-susah, bergaya. Aci juga
berpikir bahwa Bu Rita guru perempuan yang cerewet, sok menasehati, tidak mau
tahu urusan anak muda. Jika keadaannya konselor dan klien sama-sama Stereotip,
maka keduanya sudah dihinggapi sikap yang kaku terhadap masing-masing.
Kemungkinan besar konseling tidak berhasil. Contoh lain, konselor berasal dari
Yogyakarta sedang mengonseling klien dari suku Batak. Konselor berpendapat
kliennnya wataknya keras, dan klien beranggapan konselornya tidak tegas.
4.
Kelas
Sosial
Di
dalam masyarakat terdapat kelompok individu yang disebut kelas social. Kelas
social ini muncul mungkin karena latar belakang pendidikan, pekerjaan,
kekayaan, penghasilan, juga termasuk perilaku dimana dan bagaimana individu itu
membelanjakan uang. Ada tiga kelas social, yaitu kelas social atas, menengah,
dan bawah. Jika dirinci lagi menjadi Sembilan, yaitu kelas social atas
(atas-atas, atas-menengah, atas-bawah); kelas social menengah (menengah-atas,
menengah-menengah, menengah-bawah); dan kelas social bawah (bawah-atas,
bawah-menengah, bawah-bawah). Masing-masing kelas social ini mempunyai nilai,
kebiasaan, pola piker, gaya hidup, cara pandang, pola tingkah laku, fasilitas
dan sebagainya berbeda-beda. Orang-orang di kalangan atas mempunyai gaya
tersendiri untuk merayakan ulang tahunnya, sementara di kalangan bawah ingat
hari ulang tahunnya saja tidak.
Rendahnya
kelas social atau kemiskinan tampaknya berpengaruh, baik pada banyaknya masalah
kesehatan mental maupun untuk memperoleh bantuan penanganannya (Brown et al,
1988). Penelitian-penelitian cenderung menunjukkan adanya hubungan terbalik
antara kelas social dan gangguan jiwa seperti schizophrenia, alkoholisme,
penyalah-gunaan obat, dan tingkah laku anti-sosial (Dohrenwend dalam Brown et
al, 1988). Sebagian, hal ini dijelaskan sebagai fungsi hubungan antara sressor
(hal-hal penimbul stress) dan kemiskinan.
Dalam
proses konseling, tingkat perbedaan pengalaman antara konselor dengan klien,
persepsi dan wawasan mereka terhadap dunia dapat merupakan hambatan besar.
Konselor dari kelas social menengah mungkin kurang paham terhadap kebiasaan
hidup klien dari kelas social bawah dan atas.
5.
Ras
atau Suku
Banyak
perhatian diberikan pada perbedaan kebudayaan yang ada di antara kalangan ras
golongan minoritas dan pengaruh adanya perbedaan ini pada isu-isu yang
berhubungan dengan konseling (dalam Brown et al, 1988). Selanjutnya dijelaskan
bahwa bukti-bukti memang menunjukkan kalau klien golongan minoritas cenderung
putus terapi lebih awal, tidak menetapi jadwal perjanjian, dan mengutarakan
ketidakpuasannya mengenai jalannya proses bantuan.
Proses
konseling itu sendiri bias menimbulkan masalah bagi klien golongan minoritas.
Kebanyakan system terapi menekankan pentingnya intropeksi, hal memikul tanggung
jawab atas konsekuensi hidup dan perlunya klien berhasil menemukan pemecahan
masalah dan mengambil keputusan pribadi. Di pihak lain, klien golongan
minoritas memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah orang yang tertindas. Mereka
menunjuk lingkungan masyarakat di luar mereka sebagai sumber dari kesulitan
hidup mereka. Dengan demikian banyak teori konseling bertentengan dengan esensi
(kenyataan mendasar) identitas kelompok minoritas ini.
Individu
golongan minoritas sering menginginkan lebih banyak dari yang dapat diberikan
oleh terapis (konselor). Keinginan berlebih ini, misalnya minta lebih banyak
campur tangan langsung lebih banyak nasihat konkret, konseling bantuan
keuangan, dan bantuan untuk memperoleh pekerjaan (Korchin dalam Brown et al,
1988). Karena tidak memahami hal-hal yang menyebabkan stress yang menimpa klien
golongan minoritas, kebanyakan konselor mengalami kesulitan dalam memberikan
bantuan secara langsung semacam itu.
Keadaan
demikian menunjukkan kebutuhan akan hadirnya konselor lintas-budaya. Seperti
yang dinyatakan Locke (1986), hal yang mendasar bagi keterlibatan lintas-budaya
adalah pengakuan atas adanya identitas kelompok dan adanya perbedaan individu.
Sikap toleran terhadap dua hal tersebut merupakan keharusan etis bagi konselor
(Pedersen & Marsella, 1982).
Di
Indonesia yang terdiri atas bermacam-macam rasa tau suku menyebabkan variasi
perbedaan yang sangat beragam. Perbedaan suku ini seringkali merupakan
penghambat proses konseling, karena masing-masing suku memiliki kebiasaan,
falsafah hidup, dan nilai budaya yang berbeda, hal ini yang perlu dipahami oleh
konselor. Atas dasar kesadaran lintas-budaya yang dimiliki oleh konselor
diharapkan ia dapat mengatasi hambatan ini.
6.
Jenis
Kelamin (Gender)
Pada
tahun 1970 para terapis dikejutkan oleh kenyataan adanya sikap kaum seksis
(yang suka melecehkan/memperolok-olok orang perempuan) dalam profesi bantuan
yang diungkapkan penelitian yang dilakukan Broverman dan rekan-rekannya (dalam
Brown et al, 1988).
Penelitian
ini menunjukkan bukti-bukti tidak hanya mengenai adanya stereotip jenis kelamin
diantara para terapis, tetapi juga tentang stereotip perempuan yang
merendahkan. Menurut pikiran para terapis pada waktu itu, perempuan kurang
bersifat mandiri dan kurang berani (mencoba sesuatu, ambil resiko) dibandingkan
dengan laki-laki, mereka dipandang sebagai individu yang mudah dipengaruhi dan
terlampau emosional.
Pada
tahun 1980 Worell mereviu artkel yang membahas ideologi, tujuan, kebutuhan,
rasional, strategi, dan temuan-temuan penelitian yang berhubungan dengan
konseling perempuan. Penelitian dan penulisan artikel tentang psikologi
feminism dan hal lain yang yang berkenaan dengan bantuan keoada kaum oerempuan
memang perlu dilakukan. Ini perlu dilakukan dalam profesi bantuan mengingat
kenyataan bahwa menurut sejarahnya kebanyakan pendeketan konseling timbul dari
studi tentang laki-laki (dengan subjek laki-laki) (Hare-Mustin dalam Brown et
al, 1988), dengan akibat soal-soalgaya hidup perempuan kurang mendapat
penanganan. Hal ini terutama berlaku untuk perkembangan dan konseling karier,
di mana prasangka (bias) seks mempunyai dampak yang paling besar.
Bidang-bidang
yang paling relevan dengan soal-soal perempuan adalah hubungan perkawinan dan
keluarga, masalah reproduksi, pelecehan seksual dan fisik, depresi, diagnosis
yang didasarkan atas pandangan kaum seksis, dan masalah yang menyangkut soal
makan (Hare-Mustin dalam Brown et al, 1988). Dijelaskan bahwa perempuan bias
mengikuti ragam yang lebih luas dalam pola gaya hidupnya, beradaptasi lebih
sebagai tantangan. Masalah besar bagi perempuan adalah bagaimana menggabungkan
karier dengan keluarga. Perempuan yang bekerja masih harus memikul beban paling
besar dalam mengelola rumah tangga. Perempuan seringkali ditempatkan dalam
posisi peran ganda.
Demikianlah,
maka konseling untuk membantu perempuan seringkali mencakup bukan hanya klien
perempuan itu sendiri melainkan juga keluarga, atau teman-temannya.
Cerita
gender di Amerika rupanya tidak jauh beda dengan isu gender di Indonesia.
Perbedaan peran laki-laki dan perempuan sejak kecil memang berbeda, baik secara
umum maupun khusus. Laki-laki tidak boleh “cengeng”, harus sekolah yang tinggi,
bekerja, yang melamar perempuan jika mau menikah (kebanyakan di berbagai
daerah), sementara perempuan boleh menagis, tidak perlu sekolah tinggi,
kebanyakan tidak bekerja, dan menunggu dilamar. Masih banyak lagi contoh yang
serupa itu, yang pada intinya adalah merupakan nilai budaya tentang laki-laki
dan perempuan, dan ini sangat mempengaruhi cara pendang dan perilaku mereka.
Perbedaan
jenis kelamin antara konselor dengan klien juga bias menghambat proses
konseling. Apalagi di antara mereka dihinggapi stereotip terhadap jenis kelamin
tertentu. Misalnya konselor laki-laki mempunyai stereotip terhadap klien
perempuan yang mudah terpengaruh dan mudah emosi. Klien laki-laki mempunyai
stereotip terhadap konselor perempuan yang tidak tegas misalnya. Sebaliknya,
klien perempuan menganggap konselor laki-laki yang tidak dapat memahami
perasaannya, karena pada dasarnya pria itu banyak menggunakan rasionya.
7.
Usia
Proses
konseling tidak hanya untuk anak-anak usia remaja. Perkembangan selanjutnya
konseling melayani segala usia, dari mulai anak-anak sampai masa tua.
Masing-masing perkembangan (usia) mempunyai karakteristik yang berbeda, yang
harus dipahami terutama konselor. Setiap periode usia individu memiliki tugas
perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan, untuk melaksanakan tugas perkembangan dan
memenuhi berbagai kebutuhan tersebut banyak cara dilakukan oleh individu,
sesuai dengan latar budaya, tingkat social ekonominya, pendidikan, pekerjaan,
dan kesempatan yang ada. Cara yang dilakukan tersebut akan membentuk pola
tingakh laku.
Demikianlah,
setiap periode mempunyai nilai-nilai budaya usia tersebut. Misalnya dikalangan
anak remaja terutama laki-laki (sub-budaya remaja), memakai paying disaat hujan
merupakan suatu yang memalukan, ia merasa lebih baik jika basah kuyup. Kalau
dilihat dari nilai orang tua (sub-budaya orang tua), lebih baik memakai paying,
tidak basah, karena dapat menyebabkan sakit. Usia merupakan penghambat
konsleing, karena pada dasrnya masing-masing periode perkembangan mempunyai
kebutuhan, kebiasaan, gaya hidup, dan nilai budaya tertentu, yang harus
dipahami oleh konselor. Misalnya konselor yang masih muda membantu klien yang
lebih tua usianya. Hal ini bukan berarti tidak ada problem bagi konselor yang
melayani konseling anak-anak muda. Dengan melewati continuum Locke, diharapkan
konselor memeliki keterampilan dan teknik yang efektif.
8.
Preferensi
Seksual
Usaha-usaha
yang dilakukan orang untuk mengatasi masalah seksualitasnya merupakan isu yang
lazim menjadi bahan kajian dalam konseling. Itu perihal perasaan seksual,
menyirap perasaan-perasaan itu ke dalam dan membentuk citra diri seseorang, dan
membuat keputusan tentang bagaimana bertindak atas dasar perasaan dan jati
dirinya. Proses ini cukup sulit bila orang memperoleh cukup banyak dukungan
dari orang lain. Hal itu bila membingungkan arah yang ditempuh berlawanan
dengan norma masyarakat yang berlaku dan sangat dijaga kelestariannya (Brown et
al, 1988).
Homoseksualitas
bertentangan dengan norma social yang berlaku. Pergulatan individu mengatasi
masalah identitas homoseksual seringkali tidak mendapat dukungan. Hukuman yang
dijatuhkan karena prefensial seksual
semacam ini seringkali teramat berat. Dari kejadian ini berkembang istilah
homo-phobia; kekuatan yang kuat, tidak masuk akal terhadap homoseksualitas dan
kaum homoseksual (Weinberg dalam Brown et al, 1988). Didorong oleh budaya yang
dominan, itu merupakan usaha yang bertujuan menciptakan control terhadap
terjadinya kasus homoseksualitas.
Walaupun
ada bukti yang menunjukkan bahwa banyak orang gay yang sehat penyesuaian
pribadinya bias mengikuti berbagai ragam gaya hidup yang cocok dengan
kepribadiannya, namun menerima dan mempertahankan identitas dan gaya hidup gay
dapat menimbulkan masalah karena adanya tekanan negative (Bell & Weinberg
dalam Brpwn et al, 1988). Orang gay laki-laki dan peempuan mempunyai pengalaman
bahwa mereka kurang memperoleh bantuan dari konselor yang hukan gay, hal ini
karena adanya isu homo-phobia tersebut. Ini merupakan tantangan bagi konselor
non-gay agar mengevaluasi diri berkenaan dengan adanya factor ini. Hal ini juga
menunjukkan luasnya bidang konseling lintas-budaya. Perbedaan budaya antara
konselor dank lien dapat terjadi karena perbedaan preferensi seksual, sperti juga
perbedaan itu terjadi karena perbedaan ras dan latar belakang etnis.
Preferensi
seksual seperti di atas, di Indonesia mulai samar-samar ditampakkan dan
“diakui” oleh masyarakat (walaupun sangat terbatas atau terpaksa), dibandingkan
dengan beberapa tahun lalu. Baru-baru ini masyarakat daerah tertentu dikagetkan
oleh penduduknya seorang tenaga kerja wanita (TKW) yang akan menikah dengan
sesame TKW dari daerah lain. Kenyataan bahwa masyarakat telah berkembang
seperti itu, berpengaruh terhadap layanan bantuan konseling, jika suatu saat
terdapat klien yang mengalami kasus berkenaan dengan preferensi seksual. Ini
menjadi penghambat konseling karena kemungkinan konselor tidak paham akan
nilai-nilai klien tersebut.
9.
Gaya
Hidup
Profesi
konseling sudah mencapai posisi dimana semua minat individu dan masyarakat
dilayani dengan lebih efektif di dalam budaya majemuk, yang menganggap sahnya
berbagai gaya hidup. Atau dengan kata lain, kepentingan individu dan masyarakat
akan terlayani dengan lebih baik dalam kebudayaan pluraristik yang mengakui
kebenaran gaya hidup beragam ketimbang dalam kebudayaan yang menerima pandangan
gaya hidup sempit (Brown et al, 1988).
Pola
hidup atau gaya hidup dapat dibagi menjadi gaya hidup tradisional, yang
didukung secara terbuka oleh sebagian besar anggota masyarakat, dan gaya hidup
alternative yang jarang terjadi dan biasanya kurang disetujui masyarakat luas.
Kalau perkawinan dan anak merupakan inti dari gaya hidup tradisional, maka
hidup secara komunal, hidup sendirian, dan perkawinan tanpa anak merupakan
beberapa contoh gaya hidup alternative. Dapat ditambahkan contoh-contoh seperti
hidup selibat (membujang, hidup lajang), hidup bersama tanpa ikatan pernikahan
resmi, merupakan gaya hidup yang sulit dimengerti dan diterima bukan saja oleh
masyarakat umum, melainkan juga oleh konselor.
Perlu
disadari bahwa banyak lembaga social mendukung dan aktif membantu orang-orang
yang menempuh gaya hidup tradisional, tetapi ada juga, meski sedikit yang
mendukung dan membantu mereka yang mengikuti pola hidup alternative. Di sini
perlu konselor untuk menjembatani kesenjangan ini.
Untuk
memenuhi kebutuhan konseling khusus ini, konselor harus dapat menerima
sembarang gaya hidup yang sebetulnya tidak ada yang lebih baik, juga tidak ada
yang lebih buruk, yang harus diatasi adalah gaya hidup yang melanggar hak orang
lain. Gaya hidup tertentu, termasuk yang tradisional, dapat lebih baik atau
dapat juga lebih buruk bagi individu tertentu daripada gaya hidup yang lain.
Seseorang mungkin dapat mencapai kemajuan hidup dengan mengikuti gaya hidup
alternative yang memberinya makna hidup pribadi dan memenuhi harapan
masyarakat.
10. Keadaan Orang-Orang Cacat
Keadaan
orang cacat merupakan penghambat bagi pelaksanaan konseling. Keadaan cacat yang
dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan
reaksinya terhadap lingkungan.
Nathanson
(dalam Brown et al, 1988) meninjau sejumlah literature mengenai sikap para
professional yang menangani orang-orang yang cacat. Karena tidak luput dari
prasangka (bias), konselor kadang-kadang secara tidak sadar juga mengungkapkan
problemnya. Nathanson mengidentifikasi pelanggaran-pelanggran yang umum
dilakukan konselor terhadap integritas kaum cacat.
a. Memandang
bahwa satu factor penghambat dapat menjalar ke aspek-aspek lain seseorang,
sehingga keseluruhan individu itu dinilai hanya dari cirri fisiknya saja.
b. Keliru
mengasihani seorang individu dengan memandangnya sebagai individu yang rapuh,
tak ada harapan lagi, penuh penderitaan, frustasi dan ditolak.
c. Merusak
peluang individu untuk menunjukkan tanggung jawab dan keyakinan diri dengan
terlalu cepat (gampang) mendorong orang lain memberikan orang cacat tersebut
“istirahat:\”.
d. Menghambat
antusiasme dan optimism klien dengan jalan terlalu cepat membatasi maslah klien
untuk bertindak dengan harapan agar ia terhindar dari kegagalan.
e. Berlebih-lebihan
menilai (memuji) prestasi seorang klien dengan kata-kata seperti “merngagumkan”
atau “hebat” yang mempunyai implikasi bahawa kebanyakan kaum cacat adalah
interior.
Agar
dapat berhasil membantu kaum cacat, konselor perlu mempunyai latar belakang
pengetahuan yang cukup dan mempunyai berbagai keterampilan, disamping ia perlu
meneliti sikap-sikpanya sendiri dan bahasa yang digunakannya. Sikap konselor
pasa saat berhubungan dengan orang cacat perlu ditinjau lagi, respon
spontannya, akan mempengaruhi proses konseling. Demikian juga penggunaan bahasa
oleh konselor harus tepat, baik dalam komunikasi umumnya dengan orang cacat,
atau pada waktu mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan cacat seseorang
(tidak salah sebut, atau berlebih-lebihan)
DAFTAR
PUSTAKA
Saroh, Siti. 2013. Konseling
Lintas Budaya. Kudus : Progdi BK FKIP UMK